Prof. Dr. Loebby Loqman, S.H., M.Hum. merupakan salah satu tokoh penting dalam dunia hukum Indonesia yang dikenal luas sebagai akademisi, pemikir, dan reformis hukum yang tajam dan berintegritas tinggi. Pada awal kariernya, Prof. Loebby menunjukkan komitmen mendalam terhadap pengembangan ilmu hukum dan pembaruan sistem peradilan nasional. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini melanjutkan pendidikan magisternya di bidang hukum tata negara di Universitas Gadjah Mada, sebelum kemudian menempuh pendidikan doktoral di Universitas Leiden, Belanda. Disertasinya yang membahas kemandirian kekuasaan kehakiman dalam negara demokrasi transisional menjadikannya sebagai salah satu intelektual yang vokal dalam isu-isu konstitusionalisme dan reformasi kelembagaan.
Karier akademiknya ia jalani dengan penuh dedikasi di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, tempat di mana ia pernah menjabat sebagai dekan dan kemudian dikukuhkan sebagai guru besar tetap. Di lingkungan akademik, Prof. Loebby dikenal sebagai pengajar yang menginspirasi, kritis, dan menantang mahasiswa untuk berpikir melampaui teks hukum, menggali lebih dalam ke dalam konteks sosial, politik, dan moral dari setiap norma hukum. Ia tak hanya mengajar, tetapi juga aktif melakukan riset dan publikasi ilmiah. Karya-karyanya menjadi rujukan penting, di antaranya buku “Negara Hukum dan Demokrasi Konstitusional” serta “Peradilan Konstitusi dan Tantangan Reformasi Hukum” yang telah digunakan secara luas oleh kalangan akademik maupun praktisi.
Prof. Loebby juga terlibat langsung dalam proses-proses reformasi hukum di tingkat nasional. Ia pernah menjadi anggota tim penyusun kebijakan hukum nasional serta terlibat dalam kerja-kerja evaluasi lembaga peradilan, termasuk Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Pemikiran-pemikirannya yang progresif dan tajam menjadikannya salah satu narasumber utama dalam berbagai forum kebijakan, baik di lingkup pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil. Ia juga dipercaya menjadi konsultan hukum untuk berbagai lembaga negara, termasuk Kementerian Hukum dan HAM serta Komisi Yudisial.
Salah satu ciri khas dari Prof. Loebby adalah pendekatannya terhadap hukum yang tidak kaku dan tekstualis. Ia memandang hukum sebagai entitas yang hidup dan terikat erat dengan etika, nilai sosial, serta rasa keadilan publik. Dalam banyak tulisan dan wawancaranya, ia kerap mengingatkan bahwa hukum bukan hanya perangkat kekuasaan, melainkan juga cerminan nurani kolektif bangsa. Ia tidak segan mengkritik praktik-praktik hukum yang kering secara moral atau kehilangan arah dalam menjawab kebutuhan masyarakat. Bagi Prof. Loebby, kekuasaan hukum hanya sah sejauh ia mampu menjamin martabat manusia dan keadilan substantif.
Pandangan hukum Prof. Dr. Loebby Loqman mencerminkan sebuah pendekatan yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga sangat humanistik dan etis. Dalam berbagai tulisan dan forum yang ia ikuti, Prof. Loebby kerap menekankan bahwa hukum bukan sekadar kumpulan norma tertulis yang kaku dan teknis, melainkan sebuah sistem nilai yang hidup, yang harus terus-menerus bersentuhan dengan realitas sosial, politik, dan moral masyarakat. Ia melihat hukum sebagai alat untuk menciptakan keadilan substantif, bukan semata-mata sebagai sarana untuk menjaga keteraturan formal.
Bagi Prof. Loebby, keberadaan hukum dalam suatu negara tidak bisa dipisahkan dari konteks sejarah dan dinamika kekuasaan. Ia mengkritik keras praktik positivisme hukum yang ekstrem—yakni pandangan yang hanya memandang hukum dari sisi formalitas dan legalitas teks undang-undang. Menurutnya, pendekatan semacam itu rawan mengabaikan dimensi etis dan sosiologis hukum, serta membuka ruang bagi kekuasaan untuk memanipulasi hukum demi kepentingan politik. Oleh karena itu, dalam banyak kesempatan ia menyerukan pentingnya membangun hukum yang berakar pada nilai keadilan, kejujuran, dan kemanusiaan, bukan sekadar ketaatan terhadap aturan tertulis.
Dalam isu ketatanegaraan, Prof. Loebby termasuk pemikir yang memperhatikan keseimbangan kekuasaan antar-lembaga negara. Ia percaya bahwa demokrasi yang sehat hanya mungkin tumbuh jika hukum mampu mengontrol kekuasaan, bukan menjadi instrumen yang tunduk pada kehendak penguasa. Ia pun aktif mengembangkan konsep constitutional morality, yakni prinsip bahwa para penyelenggara negara harus menjalankan kekuasaan tidak hanya berdasarkan konstitusi secara formal, tetapi juga dengan integritas dan tanggung jawab moral terhadap rakyat.
Lebih lanjut, pandangan hukum Prof. Loebby juga sarat dengan semangat reformasi. Ia mendukung penguatan peran peradilan sebagai penjaga konstitusi dan penegak hak asasi manusia. Dalam pandangannya, hakim tidak boleh menjadi “corong undang-undang” semata, melainkan juga harus menjadi penafsir yang adil dan bijaksana atas hukum demi menegakkan nilai-nilai konstitusional. Ia menentang keras intervensi politik dalam lembaga peradilan dan menyerukan independensi yudikatif sebagai fondasi utama negara hukum. Salah satu hal yang menonjol dari pemikiran Prof. Loebby adalah perhatiannya terhadap hukum sebagai ruang etik. Ia menyatakan bahwa ketika hukum kehilangan hubungan dengan nurani dan akal sehat, maka hukum itu tidak lagi layak disebut hukum. Oleh karena itu, ia mengajak generasi muda hukum untuk tidak hanya menghafal pasal demi pasal, melainkan memahami konteks, menggali nilai, dan selalu bertanya: “Apakah ini adil? Apakah ini manusiawi?”
Pandangan-pandangan ini menjadikan Prof. Loebby sebagai tokoh hukum yang tidak hanya dihormati karena kepakarannya, tetapi juga karena keteguhannya memegang prinsip. Dalam suasana hukum Indonesia yang kerap diwarnai oleh pragmatisme dan tekanan politik, suara moral seperti yang disuarakan Prof. Loebby menjadi sangat penting—bukan hanya sebagai pengingat, tetapi juga sebagai penuntun arah ke mana hukum seharusnya dibawa: menuju masyarakat yang adil, beradab, dan berkeadilan sosial.
Atas pengabdiannya selama lebih dari tiga dekade, Prof. Loebby telah menerima banyak penghargaan bergengsi, termasuk Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia dan penghargaan Akademisi Hukum Berintegritas dari Komisi Yudisial. Ia juga sering diundang sebagai pembicara kunci dalam seminar hukum internasional dan menjadi tokoh penting dalam jaringan akademisi hukum Asia Tenggara. Hingga kini, ia tetap aktif menulis, berbicara, dan membimbing generasi baru sarjana hukum dengan semangat yang tak pernah padam. Di mata banyak orang, Prof. Loebby bukan hanya sekadar cendekiawan hukum, tetapi sebagai penjaga akal sehat dalam pergulatan antara hukum, kekuasaan, dan keadilan di negeri ini. (MM/GI)