Oleh: Dr. Moody R. Syailendra, S.H., M.H.
Fenomena pengibaran bendera bajak laut Jolly Roger, simbol kru Topi Jerami dalam anime One Piece, jelang peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia, memicu perdebatan publik. Aksi ini dilakukan di berbagai daerah, termasuk di kendaraan truk dan sejumlah titik ruang publik. Bagi sebagian masyarakat, pengibaran bendera tersebut adalah bentuk ekspresi diri dan kreativitas, bahkan simbol perlawanan terhadap kebijakan tertentu. Namun, pemerintah dan aparat memandangnya sebagai tindakan yang berpotensi merendahkan kehormatan Bendera Merah Putih.
Bendera Jolly Roger—yang identik dengan simbol tengkorak dan tulang bersilang di atas latar hitam—secara historis adalah tanda pengenal kapal bajak laut pada abad ke-17 hingga 18. Dalam sejarah maritim, bendera ini bukan sekadar dekorasi, melainkan pesan tegas: kapal yang mengibarkannya beroperasi di luar hukum, menantang otoritas, dan sering kali menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan. Simbol tersebut mengandung unsur intimidasi dan perlawanan terhadap tatanan hukum yang berlaku di laut.
Kebebasan Berekspresi vs. Penghormatan Simbol Negara
UUD 1945 melalui Pasal 28E menjamin kebebasan berekspresi, namun Pasal 28J menegaskan bahwa hak tersebut dibatasi demi ketertiban umum, moral, dan keamanan negara. Fenomena ini menjadi ujian bagi keseimbangan antara hak warga negara untuk berekspresi dan kewajiban kolektif menjaga simbol negara, terlebih pada momen peringatan kemerdekaan yang sarat nilai nasionalisme.
Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menjamin bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Selain itu, Pasal 28F menegaskan hak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan segala jenis saluran. Hak ini juga dijamin dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang pada Pasal 23 ayat (2) menegaskan: “Setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan/atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.” Dengan demikian, pengibaran bendera One Piece dapat dipandang sebagai bentuk kebebasan berekspresi dan manifestasi dari preferensi budaya seseorang.
Meskipun dijamin konstitusi, kebebasan berekspresi tidak bersifat absolut. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan undang-undang demi menghormati hak orang lain, nilai moral, ketertiban umum, dan keamanan negara. Hal ini dipertegas oleh UU HAM Pasal 70 dan 73 yang memberi ruang pembatasan hak asasi demi kepentingan umum dan ketertiban. Artinya, kebebasan berekspresi tidak boleh mengganggu nilai-nilai fundamental, termasuk penghormatan terhadap simbol-simbol negara.
UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan secara tegas mengatur penghormatan terhadap bendera merah putih. Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa bendera negara digunakan sebagai lambang kedaulatan dan kehormatan negara. Pasal 57 huruf a UU ini juga mengatur larangan merendahkan kehormatan bendera negara dengan cara apapun. Walaupun UU ini tidak melarang secara langsung penggunaan bendera lain di ruang publik, Pasal 24 dan 25 mengatur tata cara pengibaran merah putih dalam perayaan nasional, yang berarti bendera negara harus mendapat prioritas dan perlakuan khusus. Dengan kata lain, jika bendera One Piece dikibarkan berdampingan atau menggantikan merah putih dalam konteks perayaan HUT RI, hal ini berpotensi memicu penilaian negatif atau bahkan dianggap melanggar etika penghormatan simbol negara.
Ruang publik diatur sedemikian rupa untuk menjaga keteraturan dan makna simbolik. Berdasarkan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, setiap bentuk penyampaian pendapat yang dilakukan di ruang publik harus memperhatikan kepentingan umum, keamanan, dan ketertiban. Mengibarkan bendera fiksi di tempat atau momen yang memiliki muatan nasionalisme tinggi, seperti menjelang HUT RI, bisa menimbulkan persepsi bahwa simbol negara kurang dihormati, walaupun niat awalnya tidak demikian.
Secara hukum, pengibaran bendera One Piece di ruang publik tidak otomatis melanggar undang-undang, selama tidak dimaksudkan untuk menghina bendera atau negara. Namun, jika dilakukan pada momen atau tempat yang secara simbolik diperuntukkan untuk penghormatan terhadap merah putih, tindakan ini berpotensi dinilai melanggar norma kesusilaan, etika publik, atau bahkan peraturan daerah tertentu. Fenomena ini memberikan pelajaran bahwa kebebasan berekspresi harus diimbangi dengan sensitivitas terhadap nilai-nilai simbolik nasional. Edukasi publik mengenai batas-batas ini menjadi penting agar ekspresi budaya populer tidak memicu gesekan sosial atau kesalahpahaman hukum.
Pelajaran dari Kasus Ini
Fenomena pengibaran bendera bajak laut ala One Piece menjelang HUT RI ke-80 membuka ruang diskusi yang luas mengenai batasan kebebasan berekspresi di ruang publik. Dari sudut pandang sosial, ini menunjukkan bagaimana budaya populer memiliki daya tarik kuat, terutama di kalangan generasi muda, hingga mendorong mereka untuk mengekspresikan diri melalui simbol-simbol yang mereka sukai. Namun, dari perspektif hukum dan etika bernegara, aksi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: sampai sejauh mana kebebasan berekspresi boleh dijalankan tanpa melanggar norma, aturan, dan simbol-simbol resmi negara.
Kasus ini mengajarkan bahwa kebebasan berekspresi di Indonesia memang dijamin oleh konstitusi, khususnya Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yang memberi hak kepada setiap orang untuk mengeluarkan pendapat. Akan tetapi, jaminan tersebut bukanlah hak yang bersifat absolut. Pasal 28J UUD 1945 menegaskan bahwa kebebasan individu dibatasi oleh penghormatan terhadap hak orang lain serta ketertiban umum dan nilai-nilai yang diatur dalam undang-undang. Artinya, ketika ekspresi pribadi atau kelompok dilakukan di ruang publik, ia harus mempertimbangkan kepentingan umum, termasuk penghormatan terhadap simbol negara yang diatur dalam UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara.
Di sisi lain, kasus ini juga menunjukkan bahwa banyak warga belum memahami secara menyeluruh perbedaan antara ruang privat dan ruang publik dalam konteks kebebasan berekspresi. Mengibarkan bendera fiksi di rumah pribadi mungkin tidak menimbulkan masalah besar, tetapi melakukannya di momen yang sangat sarat makna nasional, seperti menjelang peringatan kemerdekaan, dapat memicu sensitivitas sosial dan politik.
Fenomena ini juga memberi pelajaran penting bagi pembuat kebijakan dan aparat penegak hukum bahwa pengaturan kebebasan berekspresi memerlukan pendekatan yang seimbang. Reaksi yang terlalu keras dapat dianggap membatasi kebebasan secara berlebihan, sementara pembiaran total dapat mereduksi wibawa simbol-simbol negara. Diperlukan edukasi publik yang masif agar masyarakat memahami bahwa kebebasan berekspresi bukan hanya soal “hak untuk melakukan sesuatu” tetapi juga “tanggung jawab atas konsekuensi dari tindakan tersebut.”
Dengan demikian, kasus pengibaran bendera bajak laut ini menjadi cermin bahwa Indonesia sebagai negara demokrasi masih perlu terus menegosiasikan batas antara kebebasan individu dan kepentingan bersama. Ia bukan sekadar soal pro atau kontra terhadap budaya populer, tetapi tentang bagaimana masyarakat dan negara bersama-sama menjaga ruang publik tetap inklusif, tertib, dan menghargai simbol-simbol yang menyatukan bangsa. (MRS)