Perlindungan Data Pribadi: Implementasi UU No. 27 Tahun 2022 dan Tantangan Penegakannya

Era digital telah mengubah pola interaksi manusia, termasuk dalam cara data pribadi dikumpulkan, diproses, dan disebarluaskan. Indonesia mengalami lonjakan signifikan dalam penggunaan teknologi informasi, seperti layanan e-KTP, BPJS, aplikasi kesehatan seperti PeduliLindungi, hingga transaksi elektronik. Namun, perkembangan ini juga membawa risiko serius berupa kebocoran data dan penyalahgunaan informasi pribadi, seperti kasus kebocoran data eHAC dan data pasien COVID-19 yang diperjualbelikan di dark web. Untuk menjawab tantangan tersebut, pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). UU ini merupakan tonggak sejarah karena menjadi regulasi pertama yang secara komprehensif mengatur perlindungan data pribadi di Indonesia. Artikel ini membahas kerangka hukum UU PDP, tantangan implementasi, serta peluang yang muncul dari penerapannya, dengan gaya penulisan yang informatif untuk pembaca website Fakultas Hukum UNTAR.

Kerangka Hukum UU PDP

UU PDP terdiri dari 16 bab dan 76 pasal, dengan cakupan yang luas mulai dari definisi data pribadi, kewajiban pengendali data, hak subjek data, hingga sanksi bagi pelanggar. Regulasi ini dirancang untuk memberikan perlindungan menyeluruh bagi warga negara, serta memastikan bahwa data pribadi dikelola dengan aman dan bertanggung jawab.

  1. Definisi dan Kategori Data Pribadi

Menurut Pasal 1 UU PDP, data pribadi adalah data tentang individu yang teridentifikasi baik secara langsung maupun tidak langsung. UU PDP mengklasifikasikan data pribadi menjadi dua kategori utama. Pertama, data umum yang mencakup informasi dasar seperti nama lengkap, jenis kelamin, agama, dan status perkawinan. Kedua, data spesifik yang bersifat sensitif, seperti data kesehatan, data biometrik, genetika, catatan kriminal, data anak, dan data keuangan. Pembagian ini penting agar pengelolaan data dapat disesuaikan dengan tingkat kerahasiaannya.

2. Prinsip Perlindungan Data

Prinsip-prinsip dalam UU PDP menjadi dasar dalam memproses data pribadi. Prinsip ini meliputi transparansi, akuntabilitas, keamanan, serta persetujuan dari subjek data sebelum data diproses. Penulis juga mengusulkan adanya prinsip tambahan yaitu non-diskriminasi, yang memastikan bahwa data pribadi tidak boleh digunakan untuk tujuan diskriminatif atau memperlakukan seseorang secara tidak adil berdasarkan ras, agama, atau pandangan politik. Hal ini akan memperkuat perlindungan terhadap hak asasi manusia dan kesetaraan.

3. Hak Subjek Data

Dalam UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), subjek data, yaitu individu yang datanya dikumpulkan dan diproses, diberikan berbagai hak untuk melindungi informasi pribadinya. Hak-hak ini bertujuan memberikan kendali penuh kepada setiap orang atas data yang dimilikinya, sekaligus memastikan bahwa data tersebut digunakan secara transparan dan bertanggung jawab oleh pengendali data Subjek data berhak mengetahui dengan jelas bagaimana data pribadinya dikumpulkan, digunakan, disimpan, dan dibagikan. Mereka juga memiliki hak untuk memberikan atau menarik persetujuan atas pemrosesan data, serta dapat meminta penghapusan data yang sudah tidak relevan atau dikumpulkan secara ilegal. Selain itu, subjek data dapat mengajukan keberatan jika data mereka diproses untuk tujuan yang tidak sesuai dengan persetujuan awal, dan bahkan meminta pembatasan pemrosesan data hanya untuk tujuan tertentu.

UU PDP juga memberikan hak kepada subjek data untuk mengakses dan mendapatkan salinan data pribadi mereka, serta memindahkan data tersebut ke penyedia layanan lain (data portability). Jika terjadi pelanggaran, subjek data dapat mengajukan pengaduan dan menuntut ganti rugi melalui mekanisme hukum yang tersedia. Khusus untuk data sensitif, seperti data kesehatan, biometrik, dan data anak, pengendali data wajib memberikan perlindungan yang lebih ketat dan mendapatkan persetujuan khusus. Dengan adanya hak-hak ini, masyarakat memiliki landasan hukum yang kuat untuk melindungi privasinya. Di sisi lain, pengendali data berkewajiban memenuhi hak-hak tersebut, sehingga tercipta hubungan yang transparan dan saling percaya dalam pengelolaan data pribadi di era digital.

4. Kewajiban Pengendali Data

Dalam UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), pengendali data adalah pihak yang menentukan tujuan dan memiliki kendali atas pemrosesan data pribadi. Mereka bisa berasal dari sektor publik maupun swasta, seperti instansi pemerintah, perusahaan, organisasi, bahkan individu yang mengelola data dalam jumlah tertentu. Pengendali data memiliki peran yang sangat penting karena berada di garda terdepan dalam menjaga keamanan dan integritas data pribadi masyarakat. Oleh sebab itu, UU PDP menetapkan sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi agar pemrosesan data dilakukan secara sah, transparan, dan bertanggung jawab.

Pertama, pengendali data wajib memperoleh persetujuan yang sah dari subjek data sebelum melakukan pengumpulan dan pemrosesan data pribadi. Persetujuan ini harus jelas, diberikan secara sukarela, dan dipahami oleh subjek data tanpa adanya tekanan atau manipulasi. Subjek data juga harus mengetahui secara rinci tujuan pengumpulan data, jenis data yang dikumpulkan, serta bagaimana data tersebut akan digunakan dan disimpan. Persetujuan ini dapat diberikan dalam bentuk tertulis, elektronik, atau digital yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Misalnya, sebuah aplikasi kesehatan harus meminta izin dari pengguna sebelum mengakses rekam medis atau informasi kesehatan mereka.

Kedua, pengendali data wajib menjamin keamanan data pribadi dengan menerapkan langkah-langkah teknis dan administratif yang memadai. Hal ini mencakup penggunaan teknologi seperti enkripsi, sistem keamanan berlapis (multi-layered security), serta pembatasan akses hanya kepada pihak yang berwenang. Jika terjadi insiden kebocoran data, pengendali data diwajibkan untuk melaporkan insiden tersebut dalam waktu maksimal 3 x 24 jam kepada subjek data yang terdampak dan kepada otoritas pengawas. Tindakan cepat ini diperlukan untuk meminimalisir kerugian dan dampak negatif yang ditimbulkan oleh kebocoran data.

Ketiga, pengendali data harus menyediakan mekanisme pengaduan yang efektif. Mekanisme ini memungkinkan subjek data untuk mengajukan pertanyaan, keberatan, atau permintaan seperti penghapusan data yang sudah tidak relevan atau penarikan persetujuan yang telah diberikan sebelumnya. Misalnya, perusahaan e-commerce harus memiliki layanan pelanggan khusus untuk menangani permintaan penghapusan data pribadi dari pengguna yang sudah tidak ingin datanya disimpan.

Selain itu, UU PDP juga mendorong pengendali data, terutama yang mengelola data dalam jumlah besar atau bersifat sensitif, untuk menunjuk Data Protection Officer (DPO). DPO bertanggung jawab memastikan kepatuhan organisasi terhadap UU PDP, memberikan rekomendasi kebijakan internal, serta menjadi penghubung antara perusahaan, subjek data, dan otoritas pengawas. Contohnya, rumah sakit atau bank perlu memiliki DPO yang mengawasi pemrosesan data pasien atau nasabah agar tidak terjadi penyalahgunaan.

Pengendali data juga berkewajiban untuk menyimpan bukti pemrosesan data dan persetujuan subjek data. Bukti ini diperlukan untuk keperluan audit maupun penyelesaian sengketa hukum jika terjadi pelanggaran. Misalnya, perusahaan teknologi harus memiliki catatan digital tentang kapan dan bagaimana pengguna memberikan persetujuan mereka.

Apabila pengendali data bekerja sama dengan pihak ketiga atau data processor, mereka tetap memegang tanggung jawab utama atas perlindungan data. Oleh karena itu, harus ada perjanjian tertulis yang jelas mengenai standar keamanan dan tanggung jawab masing-masing pihak. Jika pihak ketiga melakukan pelanggaran, pengendali data tetap dapat dimintai pertanggungjawaban.

5. Sanksi dalam UU PDP

Untuk menegakkan kepatuhan, UU PDP menetapkan dua jenis sanksi. Pertama, sanksi administratif berupa denda yang bisa mencapai 2% dari pendapatan tahunan perusahaan. Kedua, sanksi pidana yang diterapkan untuk pelanggaran serius, seperti penjualan data pribadi secara ilegal. Pembedaan ini memberikan fleksibilitas dalam penegakan hukum, di mana pelanggaran yang ringan dapat ditangani dengan administratif, sedangkan pelanggaran berat diproses melalui jalur pidana.

Tantangan Implementasi UU PDP

Meskipun UU PDP merupakan langkah maju dalam perlindungan data pribadi, implementasinya tidak terlepas dari tantangan besar yang harus dihadapi pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan.

  1. Biaya Implementasi yang Tinggi

Implementasi UU PDP membutuhkan investasi yang signifikan, terutama untuk sektor yang mengelola data dalam jumlah besar seperti perbankan, rumah sakit, dan perusahaan teknologi. Perusahaan harus mengembangkan infrastruktur keamanan siber, memperbarui sistem, serta melatih karyawan agar mampu mematuhi standar baru. Bagi usaha kecil dan menengah, biaya ini dapat menjadi beban yang berat sehingga memerlukan dukungan dari pemerintah.

2. Rendahnya Literasi Digital Masyarakat

Rendahnya literasi digital masyarakat merupakan salah satu tantangan utama dalam implementasi UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Literasi digital yang rendah membuat banyak orang tidak memahami pentingnya perlindungan data pribadi, sehingga mereka rentan menjadi korban kebocoran atau penyalahgunaan data. Hal ini juga menyebabkan kesadaran terhadap hak-hak yang diatur dalam UU PDP, seperti hak untuk memberikan atau menarik persetujuan serta hak untuk meminta penghapusan data, masih sangat minim. Banyak masyarakat yang belum memahami bahwa data pribadi adalah aset penting yang harus dijaga. Misalnya, sebagian orang dengan mudah membagikan nomor KTP, foto pribadi, atau informasi keuangan di media sosial maupun aplikasi tanpa mempertimbangkan risiko yang mungkin terjadi. Praktik seperti ini sering dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan siber untuk penipuan, pemalsuan identitas, hingga pencurian data berskala besar. Selain itu, ketidaktahuan juga menyebabkan banyak korban kebocoran data tidak melapor atau tidak tahu harus mengadu ke mana ketika hak privasinya dilanggar.

Rendahnya literasi digital juga terlihat di lingkungan sekolah dan institusi publik. Misalnya, ada sekolah yang mempublikasikan data siswa seperti foto, nama lengkap, dan alamat di website atau media sosial tanpa izin dari orang tua, padahal hal ini melanggar ketentuan UU PDP yang mewajibkan persetujuan sebelum memproses data anak. Demikian pula, banyak lembaga pemerintah dan perusahaan yang belum memiliki mekanisme sosialisasi atau pelatihan yang memadai terkait perlindungan data bagi pegawainya, sehingga pelanggaran sering terjadi karena kelalaian internal. Masalah ini diperparah dengan kurangnya edukasi digital yang sistematis dari pemerintah maupun pihak swasta. Masyarakat sering kali hanya menjadi pengguna teknologi tanpa dibekali pengetahuan yang cukup untuk memahami risiko dan cara melindungi data pribadi. Padahal, UU PDP hanya dapat berjalan efektif jika didukung oleh pemahaman dan partisipasi aktif masyarakat. Untuk mengatasi masalah ini, perlu dilakukan kampanye literasi digital yang masif dan berkelanjutan, terutama melalui pendidikan formal dan informal. Pemerintah, sektor swasta, serta institusi pendidikan dapat bekerja sama memberikan pelatihan dan penyuluhan yang mudah dipahami masyarakat. Dengan meningkatnya literasi digital, diharapkan masyarakat tidak hanya mampu menggunakan teknologi secara bijak, tetapi juga memahami dan menuntut hak-hak perlindungan data pribadinya sebagaimana diatur dalam UU PDP. Hal ini akan menjadi fondasi penting dalam membangun budaya privasi dan keamanan data di Indonesia.

3. Perlindungan Data Anak dan Kelompok Rentan

Perlindungan data anak dan kelompok rentan merupakan salah satu aspek penting yang diatur dalam UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Hal ini menjadi perhatian khusus karena data pribadi milik anak dan kelompok rentan, seperti penyandang disabilitas atau lansia, memiliki tingkat sensitivitas yang lebih tinggi dan berpotensi menimbulkan dampak serius jika disalahgunakan. Dalam UU PDP, data anak termasuk dalam kategori data pribadi spesifik yang memerlukan perlindungan lebih ketat. Pemrosesan data anak hanya dapat dilakukan dengan persetujuan orang tua atau wali sah. Ini mencakup pengumpulan, penyimpanan, penggunaan, dan pendistribusian data anak, baik oleh pihak pemerintah maupun swasta. Persetujuan tersebut harus diberikan secara jelas dan sadar, dengan informasi lengkap mengenai tujuan penggunaan data tersebut. Misalnya, sekolah yang mempublikasikan foto siswa untuk keperluan promosi wajib mendapatkan izin tertulis dari orang tua terlebih dahulu.

Namun, dalam praktiknya, masih terdapat tantangan dalam implementasi perlindungan data anak. Pertama, UU PDP belum menjelaskan secara rinci batasan usia yang masuk dalam kategori anak serta mekanisme perlindungan yang spesifik, sehingga berpotensi menimbulkan perbedaan tafsir. Kedua, banyak platform digital, khususnya media sosial dan aplikasi permainan daring (online games), yang mengumpulkan data anak tanpa persetujuan yang jelas dari orang tua, bahkan terkadang menyamarkannya dalam kebijakan privasi yang sulit dipahami. Selain anak, kelompok rentan seperti penyandang disabilitas dan lansia juga membutuhkan perlindungan khusus. Mereka sering kali kesulitan memahami hak-haknya atau mekanisme perlindungan data, sehingga rentan terhadap penyalahgunaan. Misalnya, data medis penyandang disabilitas dapat dimanfaatkan untuk diskriminasi dalam dunia kerja, atau data finansial lansia dapat disalahgunakan untuk penipuan dan kejahatan siber.

Untuk mengatasi hal ini, diperlukan edukasi dan literasi digital yang lebih luas, baik kepada orang tua, wali, maupun kelompok rentan, agar mereka memahami hak dan prosedur perlindungan data. Selain itu, pemerintah perlu mengeluarkan peraturan turunan yang secara rinci mengatur standar perlindungan data anak dan kelompok rentan, termasuk mekanisme persetujuan, keamanan data, serta sanksi bagi pihak yang melanggar. Dengan langkah-langkah ini, hak atas privasi anak dan kelompok rentan dapat lebih terjamin, sejalan dengan prinsip perlindungan hak asasi manusia dan keadilan sosial.

4. Ketidakjelasan Lembaga Pengawas

Dalam implementasi UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, keberadaan lembaga pengawas sangat penting untuk memastikan data pribadi warga negara terlindungi dengan baik. Namun, hingga kini, struktur, wewenang, dan mekanisme kerja lembaga ini masih belum jelas. UU PDP hanya menyebutkan secara umum pembentukan otoritas pengawas tanpa merinci bentuk organisasi maupun tingkat independensinya. Ketidakjelasan ini menimbulkan berbagai masalah, seperti tumpang tindih kewenangan dengan Kementerian Kominfo, lambatnya penanganan kasus kebocoran data, dan rendahnya transparansi dalam penegakan hukum. Hal ini juga berdampak pada sektor swasta yang bingung mengenai standar pelaporan dan kepatuhan yang harus diikuti. Selain itu, ketidakjelasan lembaga pengawas menyulitkan kerja sama internasional, padahal banyak kasus kebocoran data melibatkan pihak lintas negara. Tanpa otoritas yang jelas dan independen, perlindungan data pribadi sulit diwujudkan secara efektif. Oleh karena itu, pemerintah perlu segera menetapkan lembaga pengawas yang kuat, transparan, dan profesional agar UU PDP dapat diimplementasikan secara optimal dan memberikan kepercayaan kepada masyarakat serta pelaku usaha.

5. Penegakan Hukum yang Konsisten

Salah satu tantangan utama adalah memastikan bahwa penegakan hukum dilakukan secara konsisten dan adil. Perbedaan penerapan sanksi antara sektor publik dan privat dapat menciptakan ketidakadilan. Selain itu, penegakan hukum juga menghadapi kendala dalam menangani kasus yang melibatkan pihak internasional, sehingga diperlukan kerja sama lintas negara.

Peluang dari Implementasi UU PDP

Di balik tantangan yang ada, penerapan UU PDP juga membuka berbagai peluang positif, baik di bidang hukum maupun teknologi.

Pertama, UU PDP menciptakan peluang baru bagi profesi hukum. Permintaan layanan hukum akan meningkat, khususnya dalam hal penyusunan kebijakan privasi, audit kepatuhan, dan penyelesaian sengketa terkait data pribadi. Hal ini juga mendorong munculnya spesialisasi baru bagi advokat di bidang perlindungan data dan keamanan siber.

Kedua, ada peluang bisnis dalam bidang sertifikasi dan edukasi. Dengan adanya UU PDP, kebutuhan akan tenaga profesional yang tersertifikasi di bidang perlindungan data semakin besar. Sertifikasi seperti Certified Information Privacy Professional (CIPP) dapat menjadi standar kompetensi. Lembaga pendidikan hukum juga dapat mengembangkan kurikulum khusus untuk mendukung perkembangan bidang ini.

Ketiga, UU PDP berpotensi meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya perlindungan data pribadi. Dengan meningkatnya kesadaran ini, masyarakat akan lebih proaktif dalam menjaga data mereka dan menuntut akuntabilitas dari perusahaan maupun instansi pemerintah yang mengelola data.

Kesimpulan

UU No. 27 Tahun 2022 merupakan langkah maju yang signifikan dalam memperkuat perlindungan data pribadi di Indonesia. Meskipun menghadapi tantangan seperti rendahnya literasi digital, tingginya biaya implementasi, serta belum jelasnya struktur pengawasan, undang-undang ini juga membuka peluang besar bagi perkembangan profesi hukum dan kesadaran publik.

Keberhasilan implementasi UU PDP bergantung pada beberapa faktor penting, yaitu edukasi yang masif kepada masyarakat, penguatan kapasitas perusahaan dan instansi pemerintah dalam mengelola data, serta penegakan hukum yang konsisten dan adil. Jika langkah-langkah ini dilakukan secara optimal, Indonesia dapat membangun sistem perlindungan data yang setara dengan standar global seperti GDPR di Uni Eropa, sekaligus melindungi hak privasi warga negara di era digital.

Berita Terbaru

Agenda Mendatang

 

27-29

Mei

Rapat Kerja Untar 2024

1

Juni

Hari Lahir Pancasila

31

Juli

Batas Akhir Pendaftaran Mahasiswa Baru

9-14

September

Pendidikan & Pelatihan Sertifikasi Mediator

1

Oktober

Dies Natalis ke – 62