Hukum vs Ilmu Gaib: Apa Kata KUHP Baru tentang Praktik Santet?

Hal paling menarik dan tidak banyak diketahui oleh masyarakat umum adalah bahwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023, praktik ilmu gaib atau santet kini secara resmi diatur dalam hukum pidana Indonesia. Ini merupakan hal baru, karena selama puluhan tahun, KUHP lama yang merupakan warisan kolonial Belanda tidak pernah mengatur hal-hal yang bersifat mistis atau supranatural. Padahal, di konteks budaya masyarakat Indonesia, kepercayaan terhadap santet, dukun, atau praktik ilmu hitam merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari di berbagai daerah. Dalam KUHP baru ini, Pasal 252 menjadi sorotan karena secara jelas menyebutkan bahwa:

Pasal 252 ayat (1)
“Setiap orang yang menyatakan dirinya memiliki kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain, yang menimbulkan penderitaan, sakit, atau kematian seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.”

Pasal 252 ayat (2)
“Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dipidana apabila dilakukan dengan maksud untuk memperoleh keuntungan atau menyebabkan orang lain percaya.”

Pasal ini berarti bahwa seseorang dapat dijerat hukum apabila ia mengaku memiliki kekuatan gaib atau menawarkan jasa seperti menyantet, menyumpah, atau melakukan ritual tertentu, dan perbuatannya tersebut menyebabkan penderitaan nyata bagi orang lain, seperti sakit bahkan sampai meninggal dunia. Hukumannya bisa mencapai penjara selama lima tahun, atau denda hingga Rp500 juta (kategori V).

Namun, tidak semua orang yang mengaku sebagai dukun otomatis dihukum. Ada dua syarat utama agar pasal ini bisa diterapkan. Pertama, harus ada niat mencari keuntungan atau membuat orang percaya, biasanya terlihat dari adanya imbalan atau bayaran. Kedua, harus ada akibat nyata yang bisa dibuktikan, seperti seseorang benar-benar jatuh sakit atau meninggal dunia sebagai dampak dari tindakan yang dilakukan.

Sebagai contoh, jika ada seseorang yang membayar dukun untuk menyantet tetangganya, dan tetangga itu kemudian jatuh sakit dalam waktu dekat, maka baik si dukun maupun orang yang menyewa jasanya bisa dikenai pasal ini. Bukan karena hukum mengakui kekuatan santet, tetapi karena hukum melihat adanya niat jahat, transaksi, dan akibat berbahaya terhadap korban.

Menariknya, dalam pasal ini hukum tidak bertujuan untuk membuktikan apakah ilmu gaib benar-benar ada atau tidak, karena hal itu sulit dibuktikan secara ilmiah. Fokusnya adalah pada perbuatan pidana dan dampaknya, bukan pada keberadaan mistis itu sendiri. Dengan begitu, hukum tetap bisa bekerja berdasarkan asas logis dan rasional, sambil tetap menghormati konteks budaya masyarakat yang percaya akan hal-hal tersebut.

Keberadaan Pasal 252 ini menunjukkan bahwa hukum Indonesia berusaha beradaptasi dengan kenyataan sosial dan budaya, di mana praktik ilmu gaib masih sering terjadi dan bahkan diperjualbelikan secara terang-terangan. Negara hadir untuk mencegah penyalahgunaan praktik-praktik ini, terutama ketika digunakan untuk mencelakai orang lain. Maka dari itu, keberadaan pasal ini menjadi salah satu fakta hukum yang unik—mewakili upaya negara untuk melindungi masyarakat dari kejahatan yang mungkin tidak terlihat secara fisik, tetapi nyata dalam dampaknya.

Catatan Penting: Pasal ini memiliki tujuan untuk menilai benar atau tidaknya kekuatan gaib itu, karena hukum modern tidak bisa membuktikan hal-hal mistis secara ilmiah. Yang menjadi perhatian utama hukum adalah niat jahat, tindakan nyata, dan akibat hukum yang merugikan orang lain. Dengan begitu, hukum tetap bersifat rasional, namun tetap responsif terhadap fenomena sosial dan budaya lokal yang masih kuat di tengah masyarakat.

Pasal ini juga tidak serta-merta mengkriminalisasi orang yang hanya percaya atau mempraktikkan spiritualitas secara pribadi, selama tidak disalahgunakan untuk menipu, merugikan, atau menyakiti orang lain.Dengan diberlakukannya pasal ini, Indonesia menjadi salah satu negara yang secara hukum berani mengatur hal-hal yang selama ini dianggap “tidak tersentuh” karena berada di luar logika rasional. Ini menunjukkan bahwa hukum nasional tidak hanya dibangun atas dasar aturan formal, tetapi juga mempertimbangkan realitas sosial, budaya, dan nilai-nilai lokal yang hidup di tengah masyarakat. (MM/IA)

Berita Terbaru

Agenda Mendatang

 

27-29

Mei

Rapat Kerja Untar 2024

1

Juni

Hari Lahir Pancasila

31

Juli

Batas Akhir Pendaftaran Mahasiswa Baru

9-14

September

Pendidikan & Pelatihan Sertifikasi Mediator

1

Oktober

Dies Natalis ke – 62