Ronald Dworkin (1931–2013) adalah salah satu filsuf hukum paling berpengaruh pada abad ke-20. Karya telah merevolusi cara pandang terhadap hukum, khususnya dalam menentang positivisme hukum yang dominan di era sebelumnya. Ia dikenal karena pemikirannya yang tajam dan konsisten mengenai pentingnya prinsip moral dalam hukum, serta upayanya untuk menunjukkan bahwa hukum tidak semata-mata terdiri dari aturan yang ditetapkan, tetapi juga mengandung prinsip-prinsip keadilan yang bersumber dari nilai moral masyarakat.
Dworkin pertama kali dikenal luas melalui kritiknya terhadap positivisme hukum yang diusung oleh H.L.A. Hart, terutama dalam bukunya Taking Rights Seriously (1977). Dalam buku ini, Dworkin menyatakan bahwa hukum tidak dapat dipahami hanya sebagai sistem aturan (rules), tetapi harus pula dilihat sebagai sistem yang dibentuk oleh prinsip (principles). Prinsip ini bukan sekadar tambahan dari aturan hukum, melainkan memiliki kekuatan normatif yang dapat menentukan putusan dalam kasus-kasus sulit (hard cases) yang tidak secara eksplisit diatur oleh hukum tertulis.
Salah satu aspek hukum terpenting dalam pemikiran Dworkin adalah konsep tentang “hak sebagai truf” (rights as trumps). Menurut Dworkin, hak individu tidak boleh dikorbankan hanya demi keuntungan mayoritas. Hak memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada kebijakan atau utilitas, dan oleh karena itu harus dihormati bahkan ketika bertentangan dengan kepentingan umum. Inilah yang menjadi dasar bagi perlindungan hak-hak konstitusional dan HAM dalam negara hukum yang demokratis.
Aspek hukum lainnya yang sangat penting dari pemikiran Dworkin adalah konsep “integritas hukum” (law as integrity), yang ia kembangkan secara mendalam dalam bukunya Law’s Empire (1986). Dalam pandangan ini, hakim harus menafsirkan hukum dengan cara yang menjadikan keseluruhan sistem hukum sebagai ekspresi dari prinsip moral yang konsisten. Hukum tidak hanya diterapkan secara mekanis, tetapi juga harus ditafsirkan secara normatif agar putusan yang dihasilkan dapat mencerminkan integritas moral sistem hukum secara keseluruhan. Dengan kata lain, hukum harus dilihat sebagai “narasi kolektif” yang memiliki kesinambungan moral dan logika internal, dan hakim sebagai naratornya harus mencari interpretasi terbaik yang “membuat hukum menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri”.
Pendekatan hermeneutik Dworkin terhadap hukum memperkuat gagasan bahwa penafsiran hukum bersifat konstruktif, yakni tidak hanya deskriptif terhadap aturan, tetapi juga normatif dalam membangun makna dan nilai hukum dalam konteks masyarakat. Hal ini sangat relevan dalam praktik peradilan modern, terutama dalam konteks konstitusionalisme, di mana hakim seringkali dihadapkan pada ketegangan antara hukum tertulis dengan prinsip-prinsip keadilan dan HAM.
Dworkin juga menolak dikotomi antara hukum dan moralitas yang begitu dijunjung tinggi dalam positivisme hukum. Menurutnya, setiap proses hukum yang benar pasti akan dan harus melibatkan pertimbangan moral. Oleh karena itu, seorang hakim yang baik bukan hanya harus memahami aturan hukum, tetapi juga memiliki kepekaan etis terhadap nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Aspek lainnya dalam pemikiran Dworkin adalah peran hakim sebagai penafsir moral hukum. Dalam sistem common law, di mana preseden dan interpretasi hukum sangat dominan, hakim memainkan peran sentral. Namun, Dworkin menekankan bahwa keputusan hakim tidak boleh bersifat subjektif atau ideologis, melainkan harus mencerminkan “interpretasi terbaik” terhadap prinsip-prinsip yang mendasari sistem hukum secara keseluruhan. Dengan demikian, hukum bukanlah hasil kompromi politik semata, tetapi merupakan usaha berkelanjutan untuk menerapkan prinsip keadilan dalam praktik.
Pemikiran Dworkin ini memiliki pengaruh besar dalam perkembangan hukum konstitusi, hak asasi manusia, dan interpretasi yudisial modern. Banyak Mahkamah Konstitusi di berbagai negara merujuk pada prinsip-prinsip Dworkin dalam menyeimbangkan antara kehendak demokratis dan perlindungan atas hak-hak fundamental. Dalam konteks Indonesia, pemikiran Dworkin dapat digunakan untuk memperkuat argumentasi dalam judicial review, khususnya dalam memastikan bahwa undang-undang yang dibuat oleh DPR tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusional yang menjunjung hak-hak individu.
Secara keseluruhan, kontribusi Ronald Dworkin dalam filsafat hukum menunjukkan bahwa hukum tidak hanya merupakan perangkat formal saja, namun merupakan sarana moral untuk mencapai keadilan. Ia memulihkan dimensi etis dalam hukum dan mengingatkan bahwa negara hukum sejati harus dibangun di atas penghormatan terhadap prinsip, bukan hanya aturan. Dalam dunia yang semakin kompleks, pendekatan Dworkin memberikan panduan penting tentang bagaimana hukum harus ditafsirkan dan dijalankan untuk memastikan bahwa keadilan tidak hanya menjadi slogan, tetapi juga kenyataan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. (MM/IG)