Dampak dan Faktor Penghambat Terwujudnya Ganti Kerugian Kecelakaan Pesawat Udara Yang Berkeadilan

Kecelakaan pesawat udara merupakan suatu peristiwa yang di luar kemampuan manusia yang akan terjadi selama berada di dalam pesawat udara, dari bandar udara keberangkatan hingga kepada bandar udara tujuan, di mana dapat terjadinya kematian atau luka parah atau kerugian yang disebabkan oleh benturan dengan pesawat udara atau semburan mesin jet pesawat udara atau terjadinya suatu kerusakan struktrual atau adanya peralatan yang perlu diganti atau pesawat udara tersebut hilang sama sekali. Kesalahan yang terjadi dalam pengangkutan udara baik secara sengaja maupun tidak sengaja akan sangat berpengaruh terhadap para penumpang atau korban maupun bagi para ahli warisnya atau para pihak yang akan mendapatkan ganti kerugiannya. Risiko yang dapat terjadi kepada para penumpang pengangkutan udara adalah meninggal dunia atau cacat atau menderita luka akibat kecelakaan dan akibat lain yang dapat timbul dari pengangkutan udara. Risiko yang muncul tersebut berkaitan erat dengan penyelesaian ganti kerugian terhadap para penumpang atau korban maupun kepada para keluarga korban sebagai rangka tanggung jawab hukum (legal liability) dari maskapai penerbangan dan perusahaan pembuat pesawat udara sebagai produsen.

Peristiwa kecelakaan pesawat udara memberikan dampak besar bagi para keluarga korban secara psikologis yang berjangka panjang. Selain itu, para keluarga korban bukan hanya kehilangan nyawa seseorang yang dicintai, namun lebih dari itu. Kehilangan sosok seseorang yang disayangi dalam keluarga, ¾kehilangan kepala keluarga atau ayah, ibu, anak, dan sanak keluarga lainnya, sehingga perlu adanya hukum yang adil untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat, terutama para keluarga korban.

Dampak Kecelakaan Pesawat Udara bagi Korban

Dampak yang terjadi, ¾dirasakan oleh keluarga korban yang ditinggalkan berlangsung sangat lama. Keluarga berusaha untuk menguatkan diri karena akibat kecelakaan yang lebih dari sekedar kehilangan nyawa. Hilangnya figur seorang suami, istri, ayah, ibu dan anak. Kehilangan sosok atau figur ini merupakan kerugian yang tidak ternilai harganya dan tidak dapat digantikan oleh apapun. Sebagai seorang ayah atau ibu yang masih mempunyai kewajiban untuk merawat dan membesarkan anak-anaknya maka harus tetap menguatkan diri sendiri dan juga anak-anaknya.

Dampak psikologis yang muncul pada keluarga korban berupa gangguan disosiatif, kecemasan, depresi, trauma hingga fobia terhadap pesawat terbang (aerofobia). Kondisi psikis anggota keluarga korban kecelakaan pesawat perlu mendapatkan perhatian yang khusus, karena disebabkan oleh upaya untuk menolak atau menjauh dari rasa sakit atau mencoba untuk tidak melepaskannya. Luka yang membekas bagi keluarga korban kecelakaan mampu berpotensi timbulnya trauma dan depresi karena tidak mudah bagi keluarga korban untuk memproses dan menerimanya.

Sebesar apapun ganti kerugian yang diberikan oleh perusahaan maskapai maupun produsen tidak akan pernah mampu membayar seluruh kerugian yang diderita oleh korban. Namun keluarga korban masih tetap harus melanjutkan hidup dan membiayai masa depan anak-anaknya, sehingga ganti kerugian yang berkeadilan sangatlah dibutuhkan untuk diterima oleh para keluarga korban yang mana telah menjadi haknya untuk menerima ganti kerugian tersebut berdasarkan regulasi yang ada.

Dalam peristiwa jatuhnya pesawat udara ini maka menjadi suatu tanggung jawab hukum (legal liability) dari maskapai penerbangan dan/atau produsen pembuat pesawat udara untuk melakukan penyelesaian ganti kerugian terhadap para korban maupun keluarga korban. Penyelesaian ganti kerugian terhadap penumpang yang meninggal dunia, luka-luka atau cacat akibat kecelakaan pesawat udara merupakan salah satu tanggung jawab hukum dalam penyelenggaraan penerbangan, yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Angkutan Udara.

Berdasarkan Pasal 2 PM Nomor 77 Tahun 2011, maka pengangkut yang mengoperasikan pesawat udara wajib bertanggung jawab atas kerugian terhadap penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka, hilang atau rusaknya bagasi kabin, hilang musnah atau rusaknya bagasi tercatat, hilang musnah atau rusaknya kargo, keterlambatan angkutan udara dan kerugian yang diderita oleh pihak ketiga. Jumlah ganti kerugian terhadap penumpang yang meninggal dunia juga telah diatur dengan jelas dalam Pasal 3 huruf a PM Nomor 77 Tahun 2011 yaitu meninggal dunia dalam pesawat udara karena akibat kecelakaan pesawat udara atau kejadian semata-mata ada hubungannya dengan pengangkutan udara diberikan ganti kerugian sebesar Rp1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima puluh juta rupiah) per penumpang. Selain ganti kerugian dari maskapai, ganti kerugian juga diberikan oleh Boeing selaku produsen pesawat udara turut serta bertanggungjawab atas kecelakaan tersebut jika diakibatkan cacat produk pesawat.

Faktor Penghambat Terwujudnya Ganti Kerugian Berkeadilan

Faktor penghambat dari terwujudnya ganti kerugian yang berkeadilan terhadap peristiwa kecelakaan pesawat ini adalah bahwa keluarga korban yang ditinggalkan tidak mengetahui bagaimana dan langkah apa yang harus dilakukan pasca mengetahui bahwa suaminya menjadi korban kecelakaan pesawat udara. Keluarga korban juga ada yang memiliki pemikiran bahwa mengurus kompensasi atau ganti kerugian sama saja dengan menjual nyawa keluarganya serta berpikir harus membayar jasa advokat dengan biaya yang besar serta membutuhkan waktu yang sangat panjang dalam proses pengajuan kompensasinya. Faktor penghambat lainnya adalah anggota keluarga korban sendiri, dimana kompensasi atau ganti kerugian yang diberikan oleh maskapai penerbangan maupun produsen pesawat dipandang menjadi suatu harta warisan yang harus dibagi-bagikan kepada anggota keluarga korban lainnya.

Asas presumptio iures de iure atau fiksi hukum yang berarti semua orang dianggap mengetahui hukum adalah tidak sesuai pada kenyataan yang terjadi di lapangan. Tingkat kesadaran hukum yang rendah telah menjadi faktor penghambat internal bagi keluarga korban dalam berjalannya ganti kerugian yang berkeadilan, karena keluarga korban tidak mengetahui langkah apa dan bagaimana yang harus ditempuh. Pemahaman para keluarga korban juga rendah terkait dengan kompensasi atau ganti kerugian kecelakaan pesawat udara sehingga membuat para keluarga korban menjadi ragu untuk mengajukan klaim dan memulai proses pengurusan kompensasi tersebut. Dalam hal ini, negara seharusnya mampu memfasilitasi korban sebagai tanggung jawab negara terhadap korban dengan melakukan inventarisasi mengenai advokat yang handal dalam bidang kepengurusan terkait kompensasi atau ganti kerugian kecelakaan pesawat dengan menerapkan nilai keberlakuan, kebiasaan dan kepatutan.

Selain itu, maskapai juga dapat menjadi faktor penghambat eksternal dimana pihak maskapai sendiri yang menciptakan proses berjalannya ganti kerugian yang tidak berkeadilan, sehingga diperlukan kepastian hukum dalam implementasi proses hukum yang terjadi dari pihak maskapai kepada para keluarga korban. Negara sebagai fasilitator para korban jatuhnya pesawat harus memberikan kepastian hukum dan memberikan sosialisasi secara jelas mengenai segala hal kemungkinan yang akan terjadi dalam pengangkutan udara dan bagaimana sikap serta langkah yang harus dilakukan oleh para penumpang atau korban atau keluarga korban dalam menyikapinya.

Ganti kerugian terhadap perusahaan maskapai dan/atau produsen pesawat dilakukan dengan melalui proses gugatan ganti kerugian kepada pengadilan berdasarkan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) yang tetap memperhatikan asas keadilan, kemanfaatan dan asas kepastian hukum. Dalam hal ini kaitannya dengan proses hukum yang terjadi dalam ganti kerugian kepada korban dari maskapai belum dapat dinyatakan berjalan dengan efektif, karena masih banyaknya kecurangan yang dilakukan serta modus operandi lainnya untuk menghambat kelancaran proses ganti kerugian yang berkeadilan kepada korban. (AS)

Berita Terbaru

Agenda Mendatang

 

27-29

Mei

Rapat Kerja Untar 2024

1

Juni

Hari Lahir Pancasila

31

Juli

Batas Akhir Pendaftaran Mahasiswa Baru

9-14

September

Pendidikan & Pelatihan Sertifikasi Mediator

1

Oktober

Dies Natalis ke – 62