Salah Transfer: Tanggung Jawab Siapa?

SALAH TRANSFER: BANK TUNDUK PADA PASAL 56 UU TRANSFER DANA

Kasus salah transfer semakin hari sering terjadi. Salah transfer terjadi pada saat dana ditransfer dan diterima oleh penerima atau nasabah yang tidak berhak. Dalam beberapa kasus nasabah yang tidak berhak menerima tersebut berujung pada penjatuhan sanksi pidana. Terkait dengan hal tersebut Ahli Pidana dari Universitas Tarumanagara, Jakarta menyatakan “dasar pemidanaan yang digunakan untuk dapat memidana nasabah yang menggunakan dana salah transfer adalah Pasal 85 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana (UU Transfer Dana)”. Pasal 85 UU Transfer Dana secara tegas mengatakan “Setiap orang yang dengan sengaja menguasai dan mengakui sebagai miliknya Dana hasil transfer yang diketahui atau patut diketahui bukan haknya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”.

Dengan memperhatikan kebijakan formulasi dalam pasal tersebut terdapat 2 (dua) bentuk kesalahan yang wajib terpenuhi sebelum pemidanaan dilakukan antara lain pertama, kesalahan dalam bentuk kesengajaan yang mensyaratkan adanya dolus malus. Artinya, kesengajaan yang dilakukan dengan adanya niat jahat. Keberadaan kesalahan ini terlihat dengan adanya unsur “sengaja menguasai dan mengakui sebagai miliknya Dana hasil transfer yang diketahui”. Selain bentuk kesalahan tersebut, bentuk kesalahan kedua, yang dapat dijadikan sebagai syarat menjatuhkan pidana adalah pro parte dolus, pro parte culpa yaitu delik yang dalam perumusannya memuat unsur kesengajaan dan kealpaan sekaligus. Dengan kata lain sebagian untuk kesengajaan atau sebagian untuk kealpaan”. Hal ini terlihat pada unsur “sengaja menguasai dan mengakui sebagai miliknya Dana hasil transfer yang diketahui atau patut diketahui bukan haknya”.

Dalam Pasal 85 UU Transfer Dana juga telah diatur sanksi pidana yang dapat dikenakan terhadap nasabah yang memenuhi unsur dalam pasal tersebut. Berkenaan dengan sanksi pidana dalam pasal ini terdapat jenis sanksi pidana (strafsoort) berupa pidana penjara atau denda, dan lama atau beratnya pidana (strafmaat) yakni pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Ahli juga menerangkan, penggunaan Pasal 85 UU Transfer Dana harus dilakukan secara hati-hati. Ada hal yang harus dipastikan berjalan terlebih dahulu, dengan kata lain ada kewajiban yang seharusnya dijalankan oleh pihak Bank sebagai penyelenggara transfer dana. Kewajiban tersebut tertuang di dalam Pasal 56 UU Transfer Dana yang secara tegas menyatakan pada ayat (1) Dalam hal Penyelenggara Pengirim melakukan kekeliruan dalam pelaksanaan Transfer Dana, Penyelenggara Pengirim harus segera memperbaiki kekeliruan tersebut dengan melakukan pembatalan atau perubahan. Ketentuan pada ayat ini menghendaki agar pihak Bank “segera memperbaiki kekeliruan” atas salah transfer tersebut. Umumnya kata segera tersebut diartikan harus diperbaiki dalam batas waktu 2×24 jam. Aturan normatif pada ayat ini menghendaki agar pihak Bank sebagai penyelenggara transfer dana dalam menjalankan kegiatan transfer dana.

Selanjutnya Ayat (2) Penyelenggara Pengirim yang terlambat melakukan perbaikan atas kekeliruan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar jasa, bunga, atau kompensasi kepada Penerima. Norma dalam ayat ini penting untuk memberikan perlindungan bagi nasabah atas tindakan kekeliruan transfer dana yang dilakukan oleh pihak bank. Keberadaan kewajiban membayar jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah menjadi penting agar bank sebagai penghimpun dana dari masyarakat senantiasa menerapkan prinsip kehati-hatan dalam penyelenggaraan sistem transfer dana.

 BANK DIWAJIBKAN MEMBUKTIKAN KESALAHAN TRANSFER DANA

Pada tanggal 23 Maret 2011, Pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana (UU Transfer Dana)”.  Lahirnya UU Transfer Dana didasarkan banyak pertimbangan, hal tersebut dinyatakan dalam ketentuan menimbang. Salah satu pertimbangan yang disampaikan adalah kegiatan transfer dana di Indonesia telah menunjukkan peningkatan, baik dari jumlah transaksi, jumlah nilai nominal transaksi, maupun jenis media yang digunakan.

Peningkatan jumlah kegiatan transfer dana memungkinkan timbulnya kekeliruan dalam kegiatan transfer dana. Terhadap kekeliruan tersebut, Bank diwajibkan segera memperbaiki kekeliruan tersebut dengan melakukan pembatalan atau perubahan. Keterlambatan atas perbaikan kekeliruan tersebut berakibat timbulnya kewajiban membayar jasa, bunga, atau kompensasi kepada penerima transfer dana salah tersebut.

Dalam UU Transfer Dana terdapat delik yang berkaitan dengan kegiatan salah transfer dana. Delik tersebut terdapat dalam Pasal 85 UU Transfer Dana yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja menguasai dan mengakui sebagai miliknya Dana hasil transfer yang diketahui atau patut diketahui bukan haknya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”.

Terhadap keberadaan delik tersebut, untuk dapat membuktikan adanya delik tersebut UU Transfer Dana mengatur ketentuan mengenai alat bukti dan pembuktian yang bersifat menyimpang dari KUHAP. KUHAPtelah menetapkan alat bukti yang dapat digunakan (bewijsmiddelen) untuk mengadili perkara pidana, termasuk perakara salah transfer dana. Berbagai alat bukti tersebut ada dalam Pasal 184 KUHAP antara lain keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

Dalam Pasal 76 UU Transfer Dana terdapat perluasan jenis alat bukti dalam membuktikan adanya tindak pidana transfer dana berupa Informasi elektronik, dokumen elektronik, dan/atau hasil cetaknya dalam kegiatan Transfer Dana. Selain itu, hal penting lain yang diatur dalam UU Transfer Dana adalah berkenaan dengan burden of proof atau bewijslast (pembagian beban pembuktian) yang menyimpang dari KUHAP. Dalam hukum acara yang umum, pembuktian kesalahan terdakwa menjadi tanggung jawab penuntut umum. Namun dalam UU Transfer Dana beban pembuktian menjadi kewajiban Bank.

Ketentuan kewajiban bank untuk membuktikan adanya kesalahan transfer dana diatur dalam Pasal 78 UU Transfer Dana yang menyatakan “Dalam hal terjadi keterlambatan atau kesalahan Transfer Dana yang menimbulkan kerugian pada Pengirim Asal atau Penerima, Penyelenggara dan/atau pihak lain yang mengendalikan Sistem Transfer Dana dibebani kewajiban untuk membuktikan ada atau tidaknya keterlambatan atau kesalahan Transfer Dana tersebut”. Konsekuensi adanya ketentuan ini adalah “Jika Bank tidak dapat membuktikan adanya kesalahan transfer maka pemidanaan terhadap terdakwa tidak dapat dilakukan”. Aturan kewajiban pembuktian ditangan Bank merupakan bentuk perlindungan hukum kepada nasabah karena penguasaan sistem penyelenggaaran transfer dana dikuasai oleh bank.

NASABAH BERITIKAD BAIK DALAM KASUS SALAH TRANSFER DANA TIDAK DAPAT DIPIDANA

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana (UU Transfer Dana)” disahkan oleh pemerintah pada tanggal 23 Maret 2011. Pengesahan tersebut dilakukan karena seiring dengan peningkatan transaksi perkembangan media transfer dana dan permasalahan yang terjadi, diperlukan pengaturan yang menjamin keamanan dan kelancaran transaksi transfer dana serta memberikan kepastian bagi pihak yang terkait dalam penyelenggaraan kegiatan transfer dana. Salah satu permasalahan yang terjadi adalah maraknya salah transfer dana. Bahkan dalam beberapa kasus, kegiatan salah transfer berujung pada pemidanaan terhadap nasabah.

Pemidanaan terhadap nasabah dalam kasus salah transfer menggunakan Pasal 85 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana (UU Transfer Dana)”. Pasal 85 UU Transfer Dana secara tegas mengatakan “Setiap orang yang dengan sengaja menguasai dan mengakui sebagai miliknya Dana hasil transfer yang diketahui atau patut diketahui bukan haknya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”.

Dengan memperhatikan kebijakan formulasi dalam pasal tersebut menuntut adanya kesalahan dalam bentuk kesengajaan yang mensyaratkan adanya dolus malus. Artinya, kesengajaan yang dilakukan dengan adanya niat jahat. Keberadaan kesalahan ini terlihat dengan adanya unsur “sengaja menguasai dan mengakui sebagai miliknya Dana hasil transfer yang diketahui”. Niat jahat dalam hal ini menjadi dasar patut dapat dipidananya nasabah penerima salah transfer.

Ketiadaan niat jahat dalam kasus salah transfer terjadi muncul apabila nasabah memiliki iktikad baik. Hukum memberikan perlindungan terhadap nasabah beritikad baik. Iktikad baik ini dinyatakan ada ketika nasabah telah melakukan penghati-hatian atau penduga-dugaan dengan menanyakan perihal dana yang masuk ke rekeningnya. Artinya nasabah tersebut telah melakukan “pengecekan” atau “pemeriksaan atas transfer dana yang masuk. Keberadaan itikad baik tersebut secara mutatis mutandis menandakan tidak ada niat jahat atau dolus malus dari nasabah untuk menguasai dan mengakui dana yang masuk ke dalam rekeningnya.

Secara sederhana, adanya iktikad baik berkonsekuensi pada ketiadaan kesalahan sebagai syarat subjektif  dalam kasus ini. Sehingga unsur delik dalam Pasal 85 sengaja menguasai dan mengakui sebagai miliknya Dana hasil transfer yang diketahui atau patut diketahui bukan haknya menjadi tidak terpenuhi. (AA)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Berita Terbaru

Agenda Mendatang

 

27-29

Mei

Rapat Kerja Untar 2024

1

Juni

Hari Lahir Pancasila

31

Juli

Batas Akhir Pendaftaran Mahasiswa Baru

9-14

September

Pendidikan & Pelatihan Sertifikasi Mediator

1

Oktober

Dies Natalis ke – 62