Kaburnya tujuh tahanan kasus narkoba dari Rutan Salemba pada 12 November 2024 menjadi sorotan terkait kelemahan sistem keamanan penjara di Indonesia. Para tahanan diduga melarikan diri dengan menjebol teralis besi sel dan menggunakan gorong-gorong sebagai jalur pelarian. Menanggapi kejadian ini, pihak Rutan Salemba, dipimpin oleh Kepala Rutan Kelas I Jakarta Pusat, Agung Narbani, telah melakukan pencarian intensif di sekitar area rutan dan berkoordinasi dengan kepolisian untuk menangkap kembali para tahanan. Kasus ini menggarisbawahi tantangan besar dalam pengelolaan rumah tahanan, baik dari segi keamanan fisik maupun manajemen pengawasan tahanan.
Kasus pelarian tahanan bukanlah fenomena baru di Indonesia. Sepanjang tahun 2024, insiden serupa juga terjadi, seperti kaburnya 53 narapidana dari Lapas Kelas II B Sorong, Papua Barat Daya, pada 7 Januari 2024. Kejadian tersebut dipicu oleh kerusuhan setelah pelaksanaan ibadah hari Minggu, di mana para narapidana mengancam petugas jaga dan memanfaatkan ledakan petasan untuk melarikan diri. Faktor penyebab pelarian umumnya mencakup kelemahan internal, seperti kondisi bangunan yang tidak memadai, konflik antar napi, hingga kelengahan petugas, serta faktor eksternal seperti bencana alam atau gangguan massa. Semua ini menunjukkan perlunya peningkatan sistem keamanan dan reformasi dalam tata kelola pemasyarakatan untuk mencegah insiden serupa di masa depan.
Penyebab kaburnya tahanan dan narapidana dapat dibedah menjadi dua faktor utama, yaitu internal dan eksternal. Faktor internal mencakup buruknya kondisi fisik dan sosial dalam lembaga pemasyarakatan. Ketidaksesuaian kapasitas rutan dengan jumlah tahanan sering kali memicu ketegangan antar penghuni, yang kemudian berkembang menjadi konflik seperti pemerasan, pengeroyokan, dan kekerasan lainnya. Selain itu, kekerasan yang dilakukan oleh petugas, seperti pemukulan atau tindakan yang tidak manusiawi, memperburuk situasi dan mendorong tahanan untuk mencari jalan keluar. Lingkungan yang tidak kondusif dan bangunan yang rapuh memudahkan mereka merencanakan pelarian secara kolektif, biasanya dipimpin oleh tahanan yang memiliki pengaruh besar.
Faktor eksternal juga turut memberikan peluang bagi tahanan untuk melarikan diri. Situasi darurat seperti gempa bumi, kebakaran, atau serangan massa dari luar penjara dapat menciptakan celah keamanan yang dimanfaatkan oleh para tahanan. Kurangnya pelatihan dan profesionalisme petugas keamanan turut memperparah situasi. Ketidakseimbangan antara jumlah petugas dan warga binaan menambah beban kerja yang menyebabkan pengawasan menjadi tidak optimal. Untuk mengatasi hambatan ini, diperlukan langkah-langkah konkret, seperti meningkatkan kompetensi petugas melalui pelatihan intensif, menambah jumlah personel, dan memperbaiki regulasi yang terkait dengan keamanan lembaga pemasyarakatan. Upaya ini harus dibarengi dengan penguatan infrastruktur dan pemanfaatan teknologi, seperti pemasangan CCTV dan alarm otomatis, untuk memastikan setiap celah keamanan dapat terpantau dengan baik.(HE)