Terdapat beberapa orang meminjam sejumlah uang dari rekannya atau temannya, dan seluruh kesepakatan hanya dilakukan melalui percakapan di aplikasi WhatsApp saja. Tidak terdapat surat perjanjian tertulis, tidak ada penggunaan materai, hanya sejumlah pesan yang memuat besaran pinjaman, tanggal pengembalian, dan respons singkat seperti, “Oke, nanti saya bayar di tanggal segitu ya.” Banyak orang mungkin beranggapan bahwa tanpa dokumen fisik, perjanjian semacam itu tidak memiliki kekuatan hukum. Padahal, dalam sistem hukum perdata Indonesia, percakapan digital semacam ini dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah dan diakui secara hukum di pengadilan.
Dasar hukumnya dapat ditemukan dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Ketentuan ini mencerminkan prinsip kebebasan berkontrak, yaitu bahwa setiap individu berhak membuat perjanjian dalam bentuk dan isi apa pun, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, maupun ketertiban umum. Dengan kata lain, hukum tidak mensyaratkan bahwa suatu perjanjian harus dibuat secara tertulis atau menggunakan materai agar dianggap sah. Selama memenuhi unsur-unsur sahnya perjanjian-yakni adanya kesepakatan para pihak, kecakapan hukum, objek perjanjian yang jelas, dan tujuan yang halal-maka perjanjian tersebut mengikat secara hukum, termasuk jika dilakukan melalui media elektronik.
Selaras dengan hal tersebut, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016, menegaskan bahwa informasi dan/atau dokumen elektronik, serta hasil cetaknya, merupakan alat bukti hukum yang sah. Hal ini berarti bahwa komunikasi melalui aplikasi pesan instan seperti WhatsApp, yang memuat unsur-unsur perjanjian, dapat dijadikan sebagai dasar pembuktian dalam suatu perkara perdata. Dalam praktiknya, penggugat yang hanya berbekal tangkapan layar percakapan dan bukti transfer dana pun dapat memperoleh kemenangan dalam sengketa perdata, selama bukti tersebut memenuhi unsur pembuktian yang diatur dalam hukum acara perdata.
Agar kekuatan pembuktian percakapan digital semakin kuat, isi percakapan tersebut idealnya memuat identitas para pihak, rincian isi perjanjian, serta pernyataan persetujuan yang eksplisit, meskipun hanya berupa kata “ya” atau simbol emoji. Bukti tersebut dapat diperkuat dengan dokumen pendukung lainnya seperti bukti transfer, kehadiran saksi, maupun legalisasi tangkapan layar oleh notaris atau dibuatkan berita acara oleh pejabat berwenang.
Perkembangan teknologi informasi telah mengubah cara masyarakat berkomunikasi dan bertransaksi. Hukum perdata Indonesia pun tidak tertinggal dalam merespons perubahan ini. Percakapan yang dahulu dianggap tidak formal, kini dapat menjadi dasar hukum yang kuat dalam penyelesaian sengketa. Oleh karena itu, setiap orang yang melakukan transaksi secara digital, khususnya yang berkaitan dengan pinjam-meminjam uang, sangat disarankan untuk menyimpan rekam jejak percakapan tersebut. Sebab, tidak menutup kemungkinan bahwa bukti digital itulah yang pada akhirnya akan melindungi hak-haknya di hadapan hukum. (MM/IA)