No Viral No Justice

Fenomena “No Viral, No Justice” di Indonesia mencerminkan kondisi yang sangat ironis dalam penegakan hukum di era digital saat ini. Penegakan hukum yang semestinya berjalan berdasarkan ketentuan yang berlaku, sering kali kasus baru mendapatkan perhatian serius setelah suatu kasus viral di media sosial. Hal ini menunjukkan betapa besar pengaruh media sosial dalam mendorong respons dari aparat penegak hukum yang ada di Indonesia. Tanpa adanya sorotan publik atau tekanan dari masyarakat atau netizen, banyak kasus yang cenderung diabaikan atau tidak diproses dengan serius oleh pihak berwenang.

Contoh konkret dari fenomena ini dapat dilihat pada kasus-kasus yang hanya mendapat perhatian setelah beredar luas atau viral di media sosial. Salah satu contohnya adalah kasus penggusuran warga Pulau Rempang. Sebelum rekaman video yang memperlihatkan bentrokan antara warga dan aparat tersebar di TikTok dan Twitter, proses penyelesaian masalah ini berjalan sangat lambat. Baru setelah video tersebut viral, pemerintah dan pihak terkait mulai meninjau ulang kebijakan tersebut dan memberikan respons. Kasus serupa juga terjadi pada seorang dokter koas yang dipukul oleh polisi di Makassar, penanganan kasus ini baru dimulai setelah rekaman CCTV yang memperlihatkan kejadian tersebut viral di media sosial.

Lebih mengkhawatirkan, ada pula kasus pelecehan seksual di Tangerang yang awalnya tidak mendapatkan perhatian dari pihak berwajib. Korban yang merasa tidak mendapatkan keadilan kemudian membuat konten di TikTok yang menjadi viral. Baru setelah itu, pihak kepolisian mulai menangani kasus tersebut dengan serius.

Fenomena ini menggambarkan lemahnya akuntabilitas internal lembaga penegak hukum serta ketimpangan akses terhadap keadilan, terutama bagi masyarakat yang tidak memiliki kekuasaan atau hubungan tertentu. Di satu sisi, media sosial berperan penting dalam mendorong transparansi dan mempercepat respons terhadap kasus-kasus yang mungkin terabaikan. Namun, di sisi lain, hal ini juga dapat berpotensi menumbuhkan budaya sensasionalisme, di mana penderitaan seseorang harus terlebih dahulu diviralkan agar mendapatkan perhatian yang layak.

Hal ini sangatlah berbahaya karena dapat menggeser fungsi sistem hukum yang seharusnya berjalan secara objektif dan adil, tanpa harus menunggu apakah suatu kasus menjadi viral ataupun tidak. Proses hukum yang seharusnya berjalan sesuai dengan aturan dan prinsip-prinsip keadilan, justru tergantung pada popularitas atau perhatian yang diperoleh dari media sosial.

Fenomena “No Viral, No Justice” ini harus menjadi refleksi bagi kita semua untuk mendorong perbaikan dalam sistem hukum yang ada di Indonesia. Penegakan keadilan seharusnya tidak bergantung pada viralitas atau tren yang muncul di media sosial, melainkan harus tetap berlandaskan pada hukum yang jelas, adil, dan transparan. Dalam hal ini, kita harus memastikan bahwa keadilan diberikan kepada setiap masyarakat Indonesia tanpa harus menunggu sorotan media sosial atau popularitas semata. (MM/IA/GI).

Berita Terbaru

Agenda Mendatang

 

27-29

Mei

Rapat Kerja Untar 2024

1

Juni

Hari Lahir Pancasila

31

Juli

Batas Akhir Pendaftaran Mahasiswa Baru

9-14

September

Pendidikan & Pelatihan Sertifikasi Mediator

1

Oktober

Dies Natalis ke – 62