Peran Perjanjian Pra Nikah dan Pasca Nikah dalam Penyelesaian Sengketa Harta Gono-Gini pada Perceraian

Salah satu persoalan krusial yang sering muncul dalam perkara perceraian di Indonesia adalah sengketa mengenai harta gono-gini. Menurut ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan harta bawaan dan harta yang diperoleh melalui hibah atau warisan berada di bawah penguasaan masing-masing pihak sepanjang tidak ditentukan lain. Namun dalam praktiknya, pembuktian asal-usul harta seringkali menimbulkan permasalahan serius, sehingga tidak jarang menjadi sumber konflik panjang dalam perceraian.

Dalam konteks inilah, perjanjian perkawinan memainkan peran penting sebagai instrumen hukum yang dapat meminimalisir bahkan menghindarkan sengketa. Perjanjian perkawinan dalam hukum positif Indonesia diatur dalam Pasal 29 UU Perkawinan. Semula perjanjian ini hanya dimungkinkan untuk dibuat sebelum perkawinan (prenuptial agreement). Namun melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, perjanjian perkawinan dapat dibuat, diubah, atau dicabut sepanjang perkawinan berlangsung, sepanjang disepakati kedua belah pihak dan dicatatkan pada lembaga pencatat perkawinan. Putusan MK ini menghadirkan paradigma baru dengan mengakui keberadaan perjanjian pasca nikah (postnuptial agreement).

Perjanjian pra nikah berfungsi sebagai mekanisme preventif. Dengan dibuatnya perjanjian ini, calon suami dan istri dapat menentukan status harta sejak awal perkawinan. Pemisahan harta pribadi dan harta bersama menjadi jelas, sehingga apabila perkawinan berakhir karena perceraian, pembagian harta dapat dilakukan secara sederhana berdasarkan isi perjanjian. Hal ini sekaligus meniadakan keberlakuan asas persatuan harta sebagaimana termuat dalam Pasal 35 UU Perkawinan.

Sementara itu, perjanjian pasca nikah bersifat lebih adaptif. Ia memungkinkan pasangan untuk mengatur ulang status harta setelah perkawinan berlangsung, misalnya karena adanya perubahan kondisi ekonomi, kegiatan usaha, atau kebutuhan perlindungan hukum tertentu. Dalam hal perceraian, keberadaan perjanjian pasca nikah dapat dijadikan dasar oleh hakim dalam membagi harta bersama, sehingga perdebatan mengenai kepemilikan harta dapat diminimalisir. Secara yuridis, perjanjian ini mengikat para pihak berdasarkan asas pacta sunt servanda sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata.

Dengan demikian, baik perjanjian pra nikah maupun pasca nikah memiliki signifikansi yuridis yang besar dalam penyelesaian sengketa harta gono-gini. Hakim dalam memutus perkara perceraian berkewajiban mempertimbangkan keberadaan perjanjian perkawinan sepanjang dibuat sesuai ketentuan hukum. Kehadiran perjanjian tersebut tidak hanya memberikan kepastian hukum bagi para pihak, tetapi juga berkontribusi pada efisiensi penyelesaian perkara di pengadilan.

Dari perspektif akademik, penting untuk melihat perjanjian perkawinan tidak semata sebagai instrumen teknis dalam mengatur harta, tetapi juga sebagai perwujudan prinsip kebebasan berkontrak dan perlindungan hukum bagi suami maupun istri. Oleh karena itu, dalam kerangka pembangunan hukum keluarga di Indonesia, perlu terus didorong kesadaran masyarakat akan urgensi perjanjian perkawinan, baik sebelum maupun setelah perkawinan, sebagai sarana preventif dalam mengurangi potensi sengketa harta gono-gini di kemudian hari.