Otorita IKN dan Tantangan Hukum Administrasi Negara di Era Tata Kelola Baru

Pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur menandai babak baru dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Diresmikan melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara dan diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023, Ibu Kota Nusantara (IKN) diatur secara khusus sebagai wilayah dengan model tata kelola yang berbeda dari daerah lain di Indonesia. Alih-alih menggunakan struktur pemerintahan daerah seperti provinsi atau kabupaten/kota, pemerintahan IKN dijalankan oleh sebuah badan khusus bernama Otorita Ibu Kota Nusantara, yang menjadi entitas baru dalam hukum administrasi negara Indonesia.

Dari sudut pandang hukum administrasi negara (HAN), kehadiran Otorita IKN menimbulkan sejumlah pertanyaan serius, khususnya menyangkut prinsip dasar tata kelola pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan demokratis. Pertama, status hukum Otorita IKN masih menjadi perdebatan. Meskipun bukan termasuk dalam kategori pemerintahan daerah menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, otorita ini memiliki kewenangan yang sangat luas, mulai dari perizinan, pengelolaan sumber daya, hingga pelaksanaan kebijakan tata ruang dan lingkungan. Hal ini menimbulkan ketimpangan konseptual antara kekuasaan administratif yang besar dengan tidak adanya mekanisme pengawasan legislatif di tingkat lokal. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang IKN menetapkan Otorita IKN sebagai lembaga pemerintah setingkat kementerian yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden. Namun, dalam praktik ketatanegaraan Indonesia, keberadaan lembaga semacam ini relatif baru dan statusnya tidak sepenuhnya jelas dalam hirarki lembaga eksekutif. Hal ini menimbulkan ketidakjelasan dalam hal pembagian wewenang, pertanggungjawaban administratif, dan pengawasan. Apakah Otorita tunduk pada prinsip-prinsip administrasi umum yang berlaku untuk pemerintah daerah atau lebih kepada model kementerian?

Dengan status langsung di bawah Presiden dan di luar struktur pemerintahan daerah, mekanisme pertanggungjawaban Otorita IKN menjadi tidak konvensional. Dalam perspektif HAN, setiap badan/pejabat administrasi publik harus memiliki mekanisme pengawasan internal dan eksternal yang jelas, baik oleh DPR, BPK, maupun publik. Posisi Otorita yang “unik” ini menyulitkan penerapan sistem checks and balances secara optimal. Otorita IKN memiliki wewenang administratif yang sangat luas di wilayah IKN, mulai dari perizinan, penataan ruang, hingga pengelolaan investasi, tetapi tidak memiliki legitimasi elektoral karena pemimpinnya diangkat langsung oleh Presiden, bukan dipilih melalui proses demokratis seperti kepala daerah. Hal ini berpotensi melemahkan asas partisipasi publik dan demokrasi administratif, yang menjadi salah satu asas penting dalam hukum administrasi modern.

Kedua, penunjukan Kepala dan Wakil Kepala Otorita IKN secara langsung oleh Presiden juga menuai kritik. Tidak adanya proses pemilihan langsung maupun keterlibatan masyarakat lokal dalam penentuan pimpinan Otorita IKN menciptakan jarak antara pemerintah dan rakyat. Dalam kerangka HAN, kondisi ini berpotensi melemahkan prinsip akuntabilitas dan partisipasi publik, dua nilai penting dalam pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis. Persoalannya, Kepala dan Wakil Kepala Otorita IKN tidak dipilih oleh rakyat seperti halnya kepala daerah pada umumnya melalui Pilkada. Hal ini menciptakan defisit legitimasi demokratis, karena pemimpin wilayah tersebut tidak memperoleh mandat langsung dari rakyat yang mereka pimpin. Selain itu, Dalam proses penunjukan pimpinan Otorita, masyarakat lokal di wilayah IKN tidak dilibatkan baik melalui konsultasi publik, musyawarah daerah, atau mekanisme representatif lainnya. Kondisi ini bertentangan dengan asas partisipasi masyarakat yang merupakan salah satu prinsip umum pemerintahan yang baik (good governance) sebagaimana diatur dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Dengan pimpinan Otorita yang ditunjuk pusat tanpa akar elektoral dan partisipasi lokal, potensi diskoneksi sosial dan politik antara pemerintah dengan masyarakat setempat menjadi besar. Hal ini bisa berdampak pada rendahnya legitimasi sosial kebijakan-kebijakan Otorita, serta berisiko menimbulkan resistensi sosial jika keputusan yang diambil tidak sesuai aspirasi warga lokal.

Ketiga, tumpang tindih kewenangan juga menjadi tantangan tersendiri. Otorita IKN memegang fungsi administratif, teknokratis, dan eksekutif secara bersamaan. Dengan ruang gerak yang sangat luas namun minim kontrol, muncul kekhawatiran akan terjadinya maladministrasi serta konflik kepentingan yang bisa merugikan masyarakat dan investasi jangka panjang di IKN. Apalagi, dalam praktiknya, banyak lembaga negara dan kementerian lain yang juga memiliki kepentingan di wilayah IKN. Dalam struktur pemerintahan yang ideal menurut prinsip HAN, fungsi-fungsi tersebut seharusnya dipisahkan secara proporsional agar tercipta checks and balances serta akuntabilitas kelembagaan. Hal ini dapat berdampak adanya Tumpang tindih dengan kementerian/lembaga pusat (seperti Kementerian PUPR, Kementerian ATR/BPN, BKPM) dan Beririsan dengan tugas-tugas pemerintahan daerah yang secara prinsip seharusnya dipegang oleh Pemda.

Keempat, aspek pengawasan menjadi sebuah pertanyaan besar. Tidak adanya DPRD atau lembaga perwakilan di tingkat lokal membuat sistem checks and balances di wilayah IKN tampak atau terlihat lemah. Dalam konteks HAN, hal ini bertentangan dengan prinsip pengawasan administratif yang seharusnya menjamin setiap kebijakan publik dapat dikontrol secara internal dan eksternal. Dalam sistem pemerintahan daerah biasa (berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah), pengawasan terhadap kepala daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang dipilih langsung oleh rakyat. Sedangkan, di wilayah IKN tidak memiliki DPRD karena statusnya bukan provinsi atau kabupaten/kota biasa, melainkan wilayah otorita khusus yang langsung di bawah Presiden. Hal ini mengakibatkan adanya tumpang tindih dengan kementerian/lembaga pusat (seperti Kementerian PUPR, Kementerian ATR/BPN, BKPM) serta beririsan dengan tugas-tugas pemerintahan daerah yang secara prinsip seharusnya dipegang oleh Pemda. Absennya DPRD dan lembaga pengawasan lokal di wilayah Otorita IKN telah menciptakan kekosongan checks and balances dalam sistem pemerintahan daerah khusus ini. Dari perspektif Hukum Administrasi Negara, kondisi ini rawan bertentangan dengan prinsip; Akuntabilitas pemerintahan, Transparansi publik, dan Partisipasi masyarakat yang menjadi bagian fundamental dalam penyelenggaraan pemerintahan modern berbasis good governance.

Dengan berbagai tantangan tersebut, keberadaan Otorita IKN menjadi kasus menarik untuk dikaji lebih dalam melalui pendekatan hukum administrasi negara. Apakah struktur otorita ini merupakan inovasi kelembagaan yang mampu menjawab tantangan pembangunan nasional, atau justru membuka celah baru bagi lahirnya kekuasaan administratif yang tidak terkendali? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi penting untuk dijawab oleh Pemerintah, agar cita-cita pemindahan ibu kota tidak hanya berdimensi fisik, tetapi juga berpijak pada landasan hukum yang kuat dan berkeadilan. (MM/IA)

Berita Terbaru

Agenda Mendatang

 

27-29

Mei

Rapat Kerja Untar 2024

1

Juni

Hari Lahir Pancasila

31

Juli

Batas Akhir Pendaftaran Mahasiswa Baru

9-14

September

Pendidikan & Pelatihan Sertifikasi Mediator

1

Oktober

Dies Natalis ke – 62